KKMI Kabupaten Cianjur

Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah.

.

.

.

.

.

.

.

.

Minggu, 02 Mei 2021

🔴Membuat Video Pembelajaran dengan Animasi || Sparkol

 




Video scribe merupakan video animasi tangan yang membuat sebuah gambar. Gambar-gambar ini akan dirangkai membentuk suatu rangkaian cerita dalam bentuk video. Video scribe bisa digunakan untuk membuat story line atau menggambarkan sebuah perjalanan hidup seseorang, ataukah untuk membuat media belajar sekalipun akan tetap menarik dan mampu mencuri perhatian siswa dalam kegiatan belajar mengajar, dan bagi orang yang bergelut di dunia internet marketing bisa digunakan sebagai media promosi yang sangat menarik dan interaktif.

Nah, untuk artikel kali ini saya mencoba mengulas tentang cara membuat video scribe menggunakan aplikasi sparkol. Aplikasi ini sebenarnya sangat sederhana dan cara menggunakannya pun cukup mudah, anda tidak perlu butuh belajar dalam jangka waktu lama untuk bisa menggunakanya. Cukup belajar dengan serius dalam beberapa menit saja, saya yakin anda sudah mahir menggunakannnya dengan baik.

Tapi, jika anda belum memahami fungsi-fungsi menu yang sudah disediakan maka anda akan sedikit kesulitan. Untuk itu, agar teman-teman mudah mennjalankan aplikasinya serta dapat mengekplorasi fungsi-fungsi menu yang ada dengan baik, saya mencoba membuat panduan singkat khusus bagi pemula yang ingin belajar membuat video scribe dengan aplikasi sparkol. Penasaran cara pembuatannya? Yuk, simak penjelasan berikut ini!

Cara Membuat Video Scribe dengan Aplikasi Sparkol

Sebelum membuat video scribe dengan aplikasi saprkol, anda harus mendownload aplikasinya terlebih dahulu, jika anda sudah memilikinya tinggal dibuka aja. Tapi, jika anda belum memilikinya silahkan download terlebih dahulu di http://www.sparkol.com. Sebenarnya aplikasi ini berbayar namun, anda bisa menggunakan versi trialnya untuk uji coba.

Tahapan pembuatan video scribe dengan aplikasi sparkol

1. Buka aplikasi sparkol yang sudah anda download, kemudian lakukan login.
 Keterangan :
  • Isi email yang anda gunakan untuk mendaftar pada kolom pertama
  • Kemudian masukkan password yang anda gunakan saat mendaftar, pada kolom kedua,
  • Kemudian klik “Login”, jika anda belum mendaftar silahkan klik menu yang ada di sampingnya yang bertuliskan “Create new account”
2. Kemudian akan muncul tampilan seperti ini, silahkan klik tanda rumput untuk melanjutkannya.

3. Kemudian klik tanda centang kembali, hingga muncul

4. Setelah itu akan muncul halaman untuk membuat proyek video, klik aja tanda plus (+) untuk membuat halaman baru untuk pembuatan video.

5. untuk tutorialnya kita lanjut video dibawah (Youtub )


Selasa, 13 April 2021

4+4 = 5

 


Sebuah film pendek karya sineas Iran berjudul 2+2 terasa sangat pas dengan kondisi umat Muslim hari ini. Dalam film itu diperlihatkan seorang guru berkata kepada muridnya bahwa 2+2=5. Awalnya para murid terheran-heran, tapi sang guru memaksa anak-anak mengucapkan 2+2=5. Lalu, ada seorang anak yang berkeras melawan, mengatakan 2+2=4. Anak itu langsung didatangi beberapa petugas sekolah yang mengintimidasinya, namun dia tetap bertahan, menulis di papan tulis: 2+2=4. Akhirnya anak itu ‘ditembak’. Murid-murid lain yang ketakutan, menulis di buku tulis mereka: 2+2=5. Tetapi, di akhir film diperlihatkan, ada seorang murid yang diam-diam tetap menulis 2+2=4.

Lihatlah di sekitar kita. Di jejaring sosial, selama 2-3 tahun terakhir ini, kita menyaksikan satu kelompok yang tenggelam dalam lumpur kebohongan. Mereka menyebarluaskan foto dan video melalui media sosial dengan cara berbohong. Mereka menyebut foto korban gempa bumi di Azebaijan atau korban Israel di Gaza sebagai foto korban kekejaman rezim Assad. Foto para pengedar narkoba Iran yang dihukum gantung karena kejahatan mereka disebut sebagai foto orang Sunni yang digantung pemerintah Syiah dengan alasan perbedaan mazhab. Orang-orang yang mengatakan kebenaran dituduh sesat dan kafir.

Sungguh luar biasa kebohongan mereka itu. Mereka melakukannya secara berulang, tanpa rasa malu atau khawatir bahwa kebohongan mereka itu akan terungkap. Mungkin mereka terlalu percaya diri. Pasalnya, sebagian “pasukan militan” mereka telah tercuci otaknya sedemikian rupa hingga selalu membenarkan apapun yang mereka kabarkan. Atau, ketika kebohongan itu terungkap, para simpatisan militan itu akan memaklumi kebohongan apapun yang tersaji.


Hal ini bisa dilihat dari sangat banyaknya simpatisan fanpage-fanpage takfiri yang selalu menyebarluaskan kebohongan. Ketika ada yang berusaha meluruskan informasi yang ditulis oleh fanpage itu, para simpatisan akan segera ‘menindas’-nya dengan kata-kata kasar, atau admin akan membungkamnya dengan cara mem-ban (dikeluarkan dari keanggotaan fanpage, sehingga tidak bisa berkomentar lagi), atau, bahkan memberi justifikasi “Biar sajalah foto ini palsu, tak penting. Yang penting kan memang benar Assad menindas rakyat Sunni Suriah!”

Luar biasa, bukan? Pantas saja para pembohong itu tetap percaya diri untuk terus-menerus berbohong. Itu karena mereka merasa bahwa kebohongan-kebohongan mereka itu tetap dipercaya. Atau mungkin mereka meneladani Hiltler yang berkata, “Sampaikanlah kebohongan secara berulang-ulang, maka kebohongan itu akan jadi kebenaran.”

Hanya saja, para pembohong itu harus ingat bahwa akan selalu ada orang-orang yang seperti murid sekolah yang bertahan mengatakan 2+2=4 itu. Meskipun taruhannya mati. Akan selalu ada orang-orang yang meneladani metode Al Quran: menyampaikan kebenaran secara berulang-ulang. Bukankah kita dapati ayat-ayat Al Quran yang diulang-ulang di berbagai surat?

Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa batu yang keras pun akan berlubang dengan tetesan air. Mereka yakin, kebohongan akan sirna dan kebenaran akan muncul menerangi muka bumi.

Lalu, kapan itu akan terjadi? Kami percaya bahwa hal itu tidak akan lama lagi. “Innahum yaraunahuu ba’iida. Wa naraahu qariiba” (Sesungguhnya, mereka melihatnya sebagai hal yang masih jauh; sedangkan kami melihatnya sebagai hal yang dekat).

Sabtu, 27 Maret 2021

SEJARAH MADRASAH DI INDONESIA



Madrasah sebagai nama bagi suatu lembaga atau wadah yang mewadahi proses transformasi ilmu telah mengalami perkembangan pemaknaan dalam rentang sejarah perkembangan umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Madrasah dimaknai sebagai istilah yang menunjuk pada proses belajar dari yang tidak formal sampai yang formal. Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang diusahakan, di samping masjid dan pesantren. Proses kelahiran dan dinamika madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia yang merupakan perkembangan lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren dan masjid/surau.


Kata “madrasah” terambil dari akar kata “darasa-yadrusu-darsan _ belajar”. Kata madrasah sebagai isim makan, menunjuk arti “tempat belajar”. Padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah. Ditilik dari makna Arab di atas, madrasah menunjuk pengertian “tempat belajar” secara umum, tidak menunjuk suatu tempat tertentu, dan bisa dilaksanakan di mana saja, di rumah, di surau/langgar, di masjid atau di tempat lain sesuai situasi dan kondisi. Tempat-tempat tersebut dalam sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam memegang peranan sebagai tempat transformasi ilmu bagi umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, secara teknis, kata madrasah dikonotasikan secara sempit, yakni suatu gedung atau bangunan tertentu yang dilengkapi fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang proses belajar ilmu agama, bahkan juga ilmu umum.

Di masa kolonial, pendidikan Islam hanya terbatas pada pesantren dan surau dan masih bersifat tradisional. Kemudian pada 1909 madrasah pertama di Indonesia muncul yaitu Madrasah Abadiyah di Kota Padang, Sumatera Barat, didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad. Setelah itu madrasah-madrasah lain pun tumbuh berdiri.
Seperti Madrasah Shcoel yang didirikan pada 1910 di Kota Batu Sangkar, Sumatera Barat oleh Syekh M. Talib Umar. Lalu pada 1912, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah di Yogyakarta, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dkk dan mereka mulai membangun sistem lembaga pendidikan yang menggabungkan pendidikan Islam dan umum.

Berturut-turut setelah itu pada 1913 ada Madrasah Al Irsyad di Jakarta, didirikan oleh Syeikh Ahmad Sokarti. Kemudian pada 1915 muncul Diniyah Schoel di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, didirikan oleh Zainuddin Labai el Janusi. Berikutnya pada 1926, salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahab Hasbullah dan setelah itu mulai banyak mendirikan madrasah (http://indonesiabaik.id/motion_grafis/sejarah-madrasah-di-indonesia)


Sejarah madrasah di indonesia

Sejarah madrasah
Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali berdiri di Sumatram, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.

Dari jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era repormasi sampai era sby, nasib madrasah di indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi DPR, MPR, ISTANA dan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya.

Versi lain Sejarah madrasah
Madrasah adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.
Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Belanda tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang menetapkan madrasah sebagai “sekolah liar”, kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500 gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 di Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan Belanda satu juta gulden.

Akan tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915 berdiri madrasah bagi kaum perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919.

Sayangnya, madrasah tetap saja tersingkirkan. Saat Indonesia merdeka, madrasah masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No. 15 yang menyerukan agar pendidikan di musala dan madrasah berjalan terus dan diperpesat; kemudian diperhatikan melalui keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah) dan melalui Laporan Panitia Penyelidik Pengarahan RI tanggal 2 Mei 1946 yang menegaskan, pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputuan BP KNIP. Perhatian pemerintah negeri ini diwujudkan dengan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950 yang memberikan bantuan kepada madrasah dengan subsidi per siswa @ Rp 60,00.

Baru pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap madrasah).

Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu. Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai sisipan.

Masa depan madrasah
Saat ini, di Indonesia, terdapat 38 ribu madrasah. Setiap tahunnya, madrasah meluluskan dua ratus ribu siswa, tetapi tak sampai sepuluh persen yang melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana; hanya sekitar 20% yang gurunya PNS, sementara yang non-PNS tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Apakah 5,5 juta siswa madrasah dan 456.281 guru madrasah ini bukan warga negara Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang berbeda?
Sebentar lagi pemilihan presiden dan wakil presiden, entah apakah mereka yang terpilih akan memperhatikan nasib madrasah atau akan terus meniru perlakuan penjajah Belanda?
Apa pun yang terjadi, madrasah akan terus ada: cerdas dan mulia!***
Penulis, Sekretaris DPP Persatuan Guru Madrasah (PGM) dan mahasiswa S-3 Administrasi Pendidikan UPI Bandung. (www.pikiranrakyat.com).

Latar belakang berdirinya Madrasah
Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.

Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.

Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam madrasah kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah Assulthaniyah di Kalimantan.

Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia kajian historis dan visioner
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.

Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.

Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.

Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.

Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Isu- isu eksistensi dan implikasinya
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar. Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.

Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan.Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti.Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.

Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.

Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.

Solusi yang ditawarkan
Solusinya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.

Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu? Saya yakin wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya.

Sumber : www.duniapgmi.com

Daftar Refrensi
  1. Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama
  2. https://marifudin.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-madrasah-di-indonesia/

Kamis, 04 Maret 2021

KEGIATAN PELANTIKAN PENGURUS DAN RAKERDA 1 2021 KKMI KABUPATEN CIANJUR

 




Rabu, 03 Maret 2021

RKAM BERES FILE EXCEL

 

Wilujeung Sumping di Blog nya KKMI Kabupaten Cianjur








DOWNLOAD   PASS : 123

Selasa, 23 Februari 2021

JUKNIS BOS KEMENAG 2021

JUKNIS TPG 2021 - KEMENAG


SK Dirjen Pendis Nomor 7233 Tahun 2020 ini merupakan acuan dan pedoman dalam penetapan dan penyaluran tunjangan profesi bagi guru, Kepala Madrasah dan pengawas sekolah, baik PNS ataupun Bukan PNS, pada madrasah (RA, MI, MTs, MA, dan MAK).


Sesuai pengertian dalam pendahuluan di lampiran SK Dirjen tentang Juknis TPG Tahun 2021 tersebut, tunjangan profesi adalah penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial sebagai penghargaan atas profesionalitasnya, yang diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik, kepala madrasah dan pengawas sekolah pada madrasah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun kriteria penerima TPG Tahun 2021 adalah sebagai berikut:

  • Memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-IV;
  • Memiliki sertifikat pendidik yang telah diberi satu NRG yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan telah tercatat pada SIMPATIKA melalui format S26e. Setiap guru hanya memiliki satu NRG walaupun guru yang bersangkutan memiliki lebih dari satu sertifikat pendidik;
  • Memiliki hasil Penilaian Kinerja Guru (PKG) minimal baik, dibuktikan dengan hasil PKG tahun sebelumnya;
  • Guru PNS yang mengajar pada madrasah yang diselenggarakan pemerintah atau madrasah yang diselenggarakan masyarakat dan telah memiliki izin operasional;
  • Guru bukan PNS yang mengajar pada madrasah yang diselenggarakan pemerintah atau madrasah yang diselenggarakan masyarakat dan telah memiliki izin operasional;
  • Kepala madrasah yang aktif melaksanakan tugas pada madrasah yang diselenggarakan pemerintah atau yang diselenggarakan masyarakat dan telah memiliki izin operasional;
  • Pengawas sekolah pada madrasah penerima tunjangan profesi:
    • Masih aktif melaksanakan tugas pengawasan pada madrasah yang diselenggarakan pemerintah atau madrasah yang diselenggarakan masyarakat dan telah memiliki izin operasional;
    • Memenuhi jumlah minimal madrasah binaan yaitu 10 (sepuluh) madrasah untuk jenjang RA dan MI, dan 7 (tujuh) madrasah jenjang MTs, MA, dan MAK, dan/atau paling sedikit memverifikasi hasil PKG minimal 60 guru pada madrasah binaannya untuk jenjang RA/MI dan minimal 40 (empat puluh) guru pada madrasah binaannya untuk jenjang MTs/MA/MAK;
    • Pengawas sekolah pada madrasah yang bertugas di daerah khusus:
      • Memenuhi jumlah minimal madrasah binaan, yaitu 5 (lima) madrasah;
      • Paling sedikit memverifikasi hasil PKG minimal 15 (lima belas) guru aktif mengajar pada madrasah binaannya.
  • Memiliki SKMT dan SKBK yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI melalui SIMPATIKA dan ditandatangani oleh pejabat terkait sesuai dengan kewenangannya:
    • Terdaftar pada Surat Keputusan Penetapan Penerima Tunjangan profesi (S36e) yang diterbitkan melalui SIMPATIKA;
    • Bagi GBPNS yang telah memiliki SK inpassing, wajib mendaftarkan SK inpassing di SIMPATIKA sebagai validitas status inpassing dan kesetaraan golongannya;
    • Memenuhi beban kerja guru sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 890 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemenuhan Beban Kerja Guru Madrasah yang Bersertifikat Pendidik. Dalam hal pemenuhan beban kerja, guru dapat mengajar di satu madrasah atau lebih dengan syarat memenuhi 6 (enam) jam pada satminkal sesuai dengan ketentuan linieritas;
    • Berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun. Dikecualikan bagi penerima tunjangan profesi dengan pangkat dan golongan IV/d, IV/e atau pembina utama, berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
  • Tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain madrasah. Tenaga tetap dimaksud antara lain:
    • Penyuluh agama;
    • Tenaga pendamping pada program pemerintah seperti:
      • Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM);
      • Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK);
      • Pemberdayaan Masyarakat Usaha Tani (PMUT);
      • Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PMP);
      • Pendamping Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM);
      • Pendamping Keluarga Harapan (PKH);
    • Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) atau Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) bukan guru;
  • Tidak merangkap jabatan di lembaga eksekutif, yudikatif, atau legislatif yang meliputi:
    • Perangkat desa/kelurahan, Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan non guru/pengawas, dan TNI/POLRI;
    • Anggota Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial atau Ombudsman;
    • Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah.


Besaran TPG 2021


Besaran tunjangan yang diterima untuk TPG dikelompokkan dalam tiga golongan yakni guru, kepala madrasah, dan pengawas yang berstatus PNS, guru dan kepala madrasah bukan PNS yang sudah inpassing, dan guru dan kepala madrasah bukan PNS dan bukan inpassing.


Bagi kelompok pertama,  guru, kepala madrasah, dan pengawas yang berstatus PNS diberikan tunjangan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok per bulan.


Untuk guru dan kepala madrasah bukan PNS yang sudah inpassing diberikan tunjangan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok per bulan sesuai dengan SK inpassing.


Sedang bagi guru dan kepala madrasah bukan PNS dan bukan inpassing diberikan tunjangan profesi sebesar 1,5 juta perbulan.


Selengkapnya silahkan ...


DOWNLOAD DISINI


DOKUMENTASI KEGIATAN KSM 2019 KKMI CIANJUR






Jumat, 19 Februari 2021

SK DIRJEN 5852 Tahun 2020 Juknis KKM

 

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM NOMOR 5852 TAHUN 2020 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN KELOMPOK KERJA MADRASAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM



Selengkapnya bisa diunduh DISINI

BELAJAR PRAKTEK SHOLAT USIA DASAR

 



Kamis, 18 Februari 2021

SEJARAH SINGKAT MIS ASSHOLAHIYYAH WARUNGKONDANG

MIS ASSHOLAHIYYAH

MI Assholahiyyah didirikan pada tanggal 15 Maret 1964 oleh   Bpk. H. Bahrudin, dan Bpk. Encep Burdah dengan dibantu oleh tokoh-tokoh dan warga masyarakat di sekitar lingkungan madrasah tersebut, dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al-Ikram.

Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al-Ikram awal mulanya mendirikan Madrasah Diniah (MD) Assholahiyyah pada tahun 1943. Pada mulanya jumlah siswa Madrasah Diniah tersebut hanya sedikit, lama kelamaan semakin banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anaknya untuk menuntut ilmu agama disana, melihat jumlah siswa Madrasah Diniah  yang semakin banyak, maka dengan latar belakang tersebut pihak yayasan berinisiatif untuk mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Assholahiyyah dengan lokasi yang masih satu atap dengan Madrasah Diniah, karena siswa selain diberikan ilmu agama juga dapat diberikan ilmu pengetahuan umum, dengan waktu pembelajarannya MI Assholahiyyah bagian pagi dan MD Assholahiyyah bagian siang.  Pada tanggal 16 Maret 1981 MI Assholahiyyah telah diakui sebagai lembaga pendidikan dasar oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, berlandaskan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P dan K, serta Menteri Dalam Negeri) No: 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975 ; No. 36 Tahun 1975 serta Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1979. MI Assholahiyyah didirikan diatas tanah wakaf dari H. Syarif dengan luas 5060 m, dengan luas bangunan 700 m2 , dan kepala sekolah pertamanya H. Bahrudin yang sekaligus sebagai pendiri madrasah ini. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Bpk. H. Bahrudin, S.pdi. ).

Surat Pengantar Kisi-kisi UM jenjang MI, MTs dan MA Tahun Pelajaran 2020/2021

Surat Pengantar Kisi-kisi UM jenjang MI, MTs dan MA Tahun Pelajaran 2020/2021

Menindaklanjuti SK Dirjen No.752 Tahun 2021 tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Madrasah Tahun Pelajaran 2020/2021, Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia telah menyusun Kisi-kisi Ujian Madrasah kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab jenjang MI, MTs dan MA/MAK. Berikut disampaikan kisi-kisi dimaksud sebagaimana termuat pada lampiran surat ini. Penjelasan lebih lanjut sebagai pendamping pengiriman kisi-kisi tersebut adalah


  1. Kisi-kisi Ujian Madrasah meliputi Mapel Quran Hadis, Akidah Ahlak, Fikih, SKI dan Bahasa Arab untuk jenjang MI,MTs, dan MA/MAK.
  2. Kisi-kisi Ujian Madrasah dimaksud pada poin 1 di atas berfungsi memberikan panduan sekaligus membantu guru madrasah dalam menyusun soal Ujian Madrasah kelompok Mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah.
  3. Kisi-kisi disusun dengan mengacu pada KMA 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah.
  4. Guru dalam menyusun soal dapat memilih dari 60 kisi-kisi pada setiap jenjang yang telah disiapkan oleh Kementerian Agama dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing madrasah,
  5. Berdasarkan pertimbangan pada poin 4, guru dalam menyusun soal dapat memperhatikan rambu-rambu persentase dan komposisi level kognitif
  6. Penyusunan soal agar mempertimbangkan situasi pandemi, sehingga tingkat kesulitan dan level kognitif soal yang dikembangkan dapat menyesuaikan kondisi pembelajaran yang berlangsung selama ini di setiap madrasah. Atas dasar itu pula, maka meskipun sebagian besar level kognitif Kompetensi Dasar di KMA 183 Tahun 2019 pada level 3 (L3), guru penyusun soal di setiap madrasah dibolehkan mengembangkan soal pada level 1 (L1) atau level 2 (L2).

 

Untuk file lengkap Surat Edaran Pengantar Kisi-kisi Ujian Madrasah Tingkat MI,MTs,MA Tahun Pelajaran 2020/2021 bisa unduh dibawah